Sarumpun.com – JAKARTA – Koalisi Komunitas Sipil menyoroti pernyataan Ketua Dewan Keamanan Nasional (DPN) sekaligus Menteri Perlindungan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin yang mana menyatakan, DPN dapat mengambil peran pada urusan penertiban kawasan hutan, khususnya pelanggaran hukum oleh entrepreneur kelapa sawit.
Hal itu disampaikan Sjafrie pada rapat dengan dengan Komisi I DPR, pada Selasa, 4 Februari 2025 lalu. Dalam rapat yang disebutkan Sjafrie mengatakan, DPN akan bertugas mengobservasi seluruh permasalahan nasional di dalam Indonesia.
“Kami memandang, pernyataan Sjafrie yang dimaksud bukan belaka keliru tetapi juga merusak sistem penegakan hukum nasional juga supremasi sipil di sistem demokrasi di dalam Indonesia. Pernyataan ini mengindikasikan kembalinya praktik militerisme juga otoritarianisme ala Orde Baru yang digunakan terbukti mewariskan berbagai pelanggaran HAM,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Hari Jumat (7/2/2025)
Menurut Usman Hamid, pernyataan DPN akan mengambil peran pada penertiban kawasan hutan, sawit, juga seluruh permasalahan nasional lainnya tidak ada sesuai dengan amanat Pasal 15 UU Pertahanan. Dalam UU Defense secara eksplisit ditujukan untuk mengurus kebijakan pertahanan negara. Bukan terlibat urusan sipil non-pertahanan.
“Upaya menarik DPN ke pada ranah non-pertahanan, termasuk juga di pengelolaan ekonomi, adalah bentuk penyimpangan yang dimaksud bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik,” ujarnya.
Pembentukan DPN harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat dan juga pertimbangan terhadap Presiden pada rangka menghadapi kemungkinan ancaman eksternal seperti perang, bukanlah untuk terlibat di urusan non-pertahanan dalam pada negeri.
Keterlibatan DPN di urusan non-pertahanan semata-mata akan menghidupkan dwifungsi TNI seperti masa Orde Baru yang mewariskan persoalan hukum pelanggaran berat HAM yang tersebut tak tuntas hingga kini.
“Kami juga menilai, kesulitan DPN ini diawali dari pembentukan Peraturan Presiden No. 202 tahun 2024 tentang DPN yang digunakan memuat pasal karet. Pasal 3 huruf F, misalnya, mengatur bahwa DPN miliki fungsi lain yang mana diberikan oleh Presiden. Kami khawatir pasal ini dijadikan pasal sapu jagat sehingga dijadikan alasan untuk membenarkan pelanggaran HAM juga penyalahgunaan wewenang lainnya pada ranah non-pertahanan,” ujarnya.
Keterlibatan DPN di mengurus permasalahan nasional dalam luar pertahanan menunjukkan gejala kembalinya dwifungsi militer di keberadaan bernegara.
“Kami mencatat, sebelumnya ada beberapa keterlibatan militer di ranah sipil yang mana bermasalah seperti pengamanan proyek Rempang Eco-City yang berakibat pelanggaran HAM. Contoh lain, penyalahgunaan TNI di proyek lumbung pangan atau food-estate pada Merauke, Papua Selatan yang dimaksud berimplikasi besar bagi konflik aparat dengan rakyat adat. Peran militer di dalam Rempang Eco-City serta proyek food estate bertentangan dengan fungsi TNI sebagai alat negara pada bidang pertahanan sekaligus menjadi indikasi kembalinya dwifungsi ABRI,” katanya.
“Kami menilai, keterlibatan militer pada ranah sipil harus dihindari. Keterlibatan militer di dalam ranah non-pertahanan belaka akan menghidupkan kembali militerisme serta otoritarianisme di politik. Pada titik ini, keterlibatan DPN yang dimaksud terlalu berjauhan mengurusi urusan sipil, sebagaimana pernyataan Menhan, sudah ada semestinya dikoreksi lalu pelaksanaannya harus dihentikan. Hal ini penting untuk menyelamatkan Reformasi 1998,” katanya.