Sarumpun.com – JAKARTA – Pemilihan Kepala Daerah ( Pemilihan Kepala Daerah ) Serentak 2024 telah terjadi berjalan dengan lancar, tertib, aman, kemudian damai. Meski dinamika sebelum coblosan tetap saja riuh dengan kampanye masing-masing pasangan calon (paslon), tapi pengaplikasian kebijakan pemerintah identitas relatif menurun.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan perhelatan Pemilihan Kepala Daerah sebelumnya, seperti pemilihan kepala daerah DKI Ibukota 2017, yang mana penuh dengan urusan politik identitas. Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Deden Mauli Darajat menilai pelaksanaan pemilihan kepala daerah Serentak 2024 seperti halnya Pilpres 2024, belum bisa saja sepenuhnya lepas dengan propaganda serta mobilisasi massa yang dimaksud didasarkan pada urusan politik identitas yang digunakan cenderung negatif, seperti pengaplikasian atribut dan juga istilah agama tertentu.
“Walaupun demikian pemakaian sentimen agama bukan terlalu kuat pada pemilihan gubernur kali ini, berbeda dengan beberapa perhelatan Pemilihan Kepala Daerah sebelumnya. Misalnya, Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 yang sangat kuat sekali mengambil isu-isu keagamaan serta ketika Pilpres 2019,” kata Deden di area Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Pakar Bidang Studi Komunikasi ini juga menyoroti adanya transformasi substansi narasi yang mana digunakan pihak yang tersebut berseberangan dengan Pemerintah. Jika pada beberapa Pemilihan Umum sebelumnya begitu kencang hembusan kebijakan pemerintah identitas, sekarang isunya bergeser menjadi oligarki kemudian dinasti politik.
Ia menilai, menurunnya penyelenggaraan narasi identitas urusan politik pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi Indonesia, mengingat cara yang tersebut sejenis masih laku keras pada belahan dunia lainnya, bahkan dalam negara forward sekali pun.
“Dalam konteks demokrasi di tempat Indonesia, kita telah menyeberangi kurang lebih besar 26 tahun apabila dihitung dari masa reformasi, yang mana berarti proses demokrasi kita mampu dikatakan sudah ada cukup matang. Saat ini, demokrasi kita juga telah lebih banyak inklusif, tapi dengan adanya media sosial dan juga digitalisasi informasi, setiap orang mampu bersuara melalui akunnya masing-masing. Ini adalah yang tersebut perlu ditata ulang,” kata Deden.
Penataan yang dimaksud dimaksud, jelasnya, bukanlah dimaksudkan untuk menghilangkan hak lalu kebebasan berpendapat, melainkan untuk mengatur adanya kewajiban yang dimaksud harus dipatuhi di berpendapat pada ruang publik. Selain itu, menurut Deden, kejelasan regulasi diperlukan untuk menurunkan prospek tersebarnya hate speech, hoax, juga black campaign. Semua itu harus diturunkan lantaran berpotensi memecah persatuan bangsa demi kepentingan segelintir orang.
“Di sinilah letak urgensi peraturan yang dimaksud mengatur kebebasan berpendapat. Dalam upaya ini, pemerintahan perlu didukung berbagai pihak, khususnya public figure atau bahkan influencer yang dimaksud mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat,” katanya.
Pilkada harus dirayakan dengan sukacita, tidak cuma pada waktu kampanye, tapi juga ketika mengetahui hasil resmi dari KPUD masing-masing wilayah. Walaupun pemimpin yang mana terpilih itu berbeda agama dengan si pemilih, itu tetap memperlihatkan hasil yang tersebut sah juga diakui oleh konstitusi negara Indonesia.
“Ini yang tersebut harus ditekankan, bahwa kita harus menghormati keyakinan yang dimaksud lain kemudian kita harus menghormati perbedaan yang digunakan ada. Sebagai warga negara yang tersebut bertanggung jawab, kita harus menghormati hasil pemilihan gubernur dalam Indonesia, sehingga tidak ada ada alasan lain untuk kita menolak siapa pemimpin yang digunakan sudah ada terpilih. Bahkan kalau pun misalnya pilihan kita yang kalah, kita harus tetap saja menghormati juga menjalankan kebijakan yang mana sudah ada disahkan melalui hasil Pemilu, baik Pilpres maupun Pilkada,” katanya.